...........................................................

Renungan Al Quran

Kegalauan Hati (part III)

Aku adalah Evi. Bukan siapa-siapa, bukan pula artis, yang ketika setiap disebut namanya, akan banyak orang mengenal. Tetapi aku hanya wanita kebanyakan, atau tepatnya seorang ummahat yang telah dikaruniai oleh Allah SWT dua jundi yang imut dan menggemaskan, itu menurut aku. Anak-anaknya imut, karena Umminya juga imut. Walau imut, aku orang yang tidak bisa duduk manis, berusaha untuk bergerak, apa saja yang bisa kukerjakan, akan aku kerjakan.
Adalah bukan kebetulan, sampai saat ini aku masih mengaji di halaqoh tarbiyah, cukup lama memang. Sehingga banyak teman-teman, dengan bergurau, sering menyebutku sebagai ummahat qowwi, karena saking lamanya. Walaupun tidak aktif-aktif amat, tetapi aku selalu berusaha untuk hadir setiap halaqoh pekanan. Karena telah ‘terpatri di dadaku’ sudah menjadi menjadi ‘kewajiban’ lain, yang harus aku tunaikan.
Mengajar adalah hobiku, sehingga selain sebagai ummahat, aku juga seorang dosen. Maka, harap maklum, tidak sedikit juga ketika ada kegiatan atau ‘amal jama’i yang diadakan jama’ah, aku tidak bisa hadir. Karena masih belajar membagi waktu, antara keluarga, pekerjaan, atau kepentingan jama’ah.
Tetapi tidak terhadap suamiku, walaupun cukup sibuk di kantor, Ia seorang kader yang aktif di jama’ah. Sampai saat sebelum suami meninggal, Beliau diamanahi sebagai bendahara di tingkat kecamatan.
Oh ya…, tentang Abinya anak-anak, telah berpulang ke Rahmatullah 6 bulan lalu, dalam suatu kecelakaan tunggal, sepulang dari kantor, di malam hari. Semoga setiap amal kebaikannya diterima Allah SWT.
Walaupun menjadi single parent, karena roda ekonomi harus berputar, aku tetap bekerja. Sementara anak-anak di rumah dengan orang tua. Sebab, semenjak Abinya tiada, aku putuskan untuk tinggal bersama kedua orang tuaku. ‘Ada hiburan’, begitu kata kedua orang tuaku atas cucunya, anak-anakku.
Sepertinya, begitu banyak kenikmatan berada dalam jama’ah ini. Di jama’ah ini juga aku mulai mengenal Islam yang sesungguhnya. Begitu juga kenikmatan-kenikmatan yang lain, terutama nikmat ukhuwah, bahkan luar biasa… kalau boleh aku menyebutnya.
Karena ukuwah itu, halaqoh menjadi bagian keluargaku. Sampai-sampai ketika aku punya masalah ‘qodoya’ pun, aku sampaikan lewat halaqoh. Termasuk kali ini, Aku berharap teman-teman liqo’ku menjadi bagian solusi atas ‘masalah’ ini. Sebenarnya, dibilang ‘masalah’ nggak juga, karena justru aku berharap ini menjadi anugerah, atau keinginan…. Ahh… boleh juga dibilang begitu. Atau apalah namanya… yang jelas rasa itu ada.
Terutama Murobbiyah-ku, aku ingin Beliau memberi taujihnya, atau minimal memberi dukungan atas keinginanku. He… he… maksa.
“Afwan, ustadzah… giliran ana…”
“Ana punya qodoya, terkait keluarga…”
“Ana kan… single parent….”
“Mmmmm… eee… ee….”
“Kenapa ukhti…. berat ya qodoya-nya?”
“Justru itu… biarkan kami ikut meringankannya…”
Itulah, kalimat bijak Murobbiyah-ku, menyelaku karena melihat sepertinya aku ragu-ragu.
Lidahku tercekat, aku ragu…., belum lagi nanti tanggapan teman-teman liqo’. Karena bisa jadi, menurut mereka, ini adalah hal yang tabu.
Hampir saja kuhentikan qodoya-ku, tetapi karena bayangan anak-anakku terus menari-nari, maka kusingkirkan saja perasaan tidak enak itu. Bukankah aku juga dikenal sebagai pribadi yang lugas?.
Bayangan anak-anakku itulah yang mendorong, melanjutkan qodoya-ku.
“Dua pekan lalu…, ana ketemu ikhwan. Saat acara MIlad PKS di Stadion GBK”
“Teman lama, ketika SMA”
“Dia sudah berkeluarga… “
“Nah…., kami ngobrol cukup lama…”
“Setelah itu, ana pun tanya nomor HP, email, dan alamat rumah… “
“Terus terang…., mmm..mm… ana jadi ingat anak-anak”
“Apalagi saat masih ada Abinya…”
Kembali aku menghentikan bicaraku... tercekat, suaraku parau… Antara sedih, malu, dan harap. Sekelebat bayangan anak-anak sedang bermain dengan Abinya. Tetapi aku tidak mau terjebak, kesedihan yang berlarut. Bukankah aku wanita yang tegar?
Sementara…, aku lihat wajah-wajah temanku, para ummahat…, seolah bisa menebak isi kepalaku. Mereka seperti merasakan apa yang aku rasakan. Sehingga tampak wajah-wajah tegang, raut muka yang di tahan untuk bersedih. Bahkan raut muka empati.
“MMmmmm… eee… ee..”
“Bolehkan… ana jatuh hati… pada ikhwan itu”
Murobbiyah-ku terhenyak, mungkin mendengar kata jatuh hati. Bagaimana tidak? Seorang single parent, mendekati umur 40, jatuh hati pada suami orang. Tetapi buru-buru dia memahami mad’u-nya. Sehingga terlihat dengan cepat nalarnya berjalan, mencoba merubah raut wajahnya menjadi empati, tidak lagi tampak terhenyak.
“Lho, tapi kan… ukhti baru ketemu sekali ini”
“Belum lagi dia suami orang…”
“Kok, sudah langsung jatuh hati…”
“Justru…. karena dia ikhwan… “
“Justru… karena di suami orang, aku jatuh hati… “
Itulah kalimat terkahir qodoya-ku. Lalu…, Aku tatap wajah Murobbiyah-ku. Tampak wajahnya yang ayu, tersipu. Tetapi tidak terhenyak lagi. Antara malu, empati, atau bahkan heran.
Begitu juga teman-teman, tampak wajah-wajah keheranan. Semua terdiam, terpaku, antara percaya atau tidak. Barangkali, dipikiran teman-teman adalah : Ah… Si Evi ada-ada saja, akhwat yang aneh. Itu pikiran burukku, semoga tidak.
Tetapi menurutku itu bukan aneh, biasa saja, bahkan wajar. Perasaan seorang wanita terhadap Lelaki yang dikaguminya. Walaupun aku wanita tegar, tetapi setegarnya wanita membutuhkan perlindungan. Dan suami adalah orang terdekat, yang akan memberikan perlindungan.
Tidak bolehkan aku punya keinginan? Punya rasa cinta? Ada yang salah? Atau melanggar syar’i? Ah… tidak juga. Bukankah dulu di zaman Rasullah pun tidak sedikit wanita yang melamar pihak lelaki. Bahkan Khadijah RA, sendiri yang meminta seseorang untuk meminang Rasulullah.
Sampai akhir acara liqo’, Murobbiyah, teman-teman masih menyisakan keheranan. Karena menurut mereka ini hal baru, belum pernah dialami. Dan belum bisa membantu, katanya. Sehingga halaqoh di Sabtu pagi itu, masih menyisakan qodoya-ku.
Tetapi, untuk sementara bagiku, plong juga rasanya.
Perasaan yang kupendam dua pekan ini, aku tumpahkan di majelis yang penuh kemuliaan ini. Majelis yang diisi oleh orang-orang solih, yang membicarakan hal-hal yang baik. Maka aku berharap juga akan ada kebaikan atas qodoya-ku kali ini.

bersambung....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Kegalauan Hati (part III)"

Posting Komentar

Hadits Muslim