...........................................................

Renungan Al Quran

Kegalauan Hati

”Eh… ini Amin ya…?”

Wanita kecil berjilbab putih itu menengok ke belakang, menegurku. Sementara aku, yang merasa tidak mengenalnya, melongo, persis seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Sambil terdiam dengan terus mengingat, siapa sih wanita kecil ini? Kenapa dia tahu nama aku? Kenapa pula ada ditempat ini?
“Subhanallah…ini Evi ya…?” Tanyaku dengan ragu-ragu
“Iya…, ini Evi, kok Amin ada disini?”
“Amin ikut milad juga…?”
“Wah…Amin PKS juga to…?”
Bangku di depanku banyak akhwat duduk berderet, bahkan hampir memenuhi stadion ini, dengan semua berjilbab putih, ternyata satu diantaranya ada yang mengenalku, yaitu Evi Susilowati. Atas kuasa Allah, dengan masih merasa keheranan, aku dipertemukan dengan teman SMA-ku. Di stadion Gelora Bung Karno, menjadi saksi aku kembali melihat wajah itu, setelah 15 tahun lebih hilang dari ingatanku, walaupun sebenarnya kami sama-sama ada di Jakarta. Tentunya karena kuasa Allah juga, Evi sekarang sudah berubah. Berbusana muslimah, berjilbab rapi dengan menjuntai lebar.
Disela-sela acara Milad PKS, yang hampir dipenuhi oleh massa dan simpatisan PKS, membuat aku tidak fokus lagi menikmati setiap pergantian acara. Pikiranku bercabang, sebagian kembali teringat masa SMA, terutama saat kelas 3. Waktu dimana saat itu aku bersahabat dengan Evi.
Aku harus berusaha ‘jaim’ sebab ada istri yang duduk manis di sebelahku, tetapi ternyata Evi selalu berusaha untuk menengok-nengok ke belakang, mengajak ngobrol.
“Tinggal dimana sekarang…?”
“Anakmu sudah berapa…?”
“Wah…, Amin, kamu masih seperti yang dulu…”
“Cool, kalem…, dan awet muda ya…”
Rasa ingin tahu Evi mulai kambuh, penyakit menahun sejak SMA, gaya bicaranya blak-blakan. Pertanyaan bertubi-tubi menderaku, aku makin gelagapan. Belum sempat juga aku menjawab satu pertanyaan, sudah ditanya lagi. Ah… dasar Evi ternyata ada yang tidak berubah, dibalik baju muslimahnya.
Waduh… perasaanku terus melayang, memori ingatanku di tahun 90-an kembali bermunculan, bagai jamur yang tumbuh tersiram air hujan. Tetapi untungnya istri yang duduk sambil cemberut, tidak bisa melihat isi kepalaku, sehingga tidak makin membuat sendu saja wajahnya. Cemburu… kali ya.
Evi yang kukenal waktu SMA dulu adalah, seorang siswi yang cerdas, cerewet, dan popular di kalangan anak-anak A1 (Fisika) pada saat itu. Belum lagi bapaknya yang seorang Direktur di salah satu rumah sakit pemerintah di Klaten, sehingga makin mudah dikenal saja.
Wajahnya sih biasa…, tidak secantik Lady Diana, permaisuri Pangeran Charles. Tetapi karena Evi siswi yang cerdas, lincah, jago bahasa Inggris, anak gaul, sehingga banyak orang yang suka berteman dengannya. Ibarat bunga…, banyak kumbang yang menghampirinya. Kumbang itu salah satunya aku.
Awalnya pertemanan, tetapi sepertinya ‘ada yang lain’ dengan pertemanan itu, apa lagi kalau bukan perasaan. Diam-diam aku pun jatuh hati pada Evi, biasa anak SMA, ah… cinta monyet.
Saat itu aku nggak berani mengungkap, maklum beda kasta. Aku anak kampung, yang setiap pagi harus berangkat sekolah jam 6 pagi dari rumah. Belum lagi aku harus berkejaran dengan angkutan umum, colt diesel, adalah andalanku untuk menempuh jarak 20 km dari rumah. Sementara Evi, setiap berangkat dan pulang sekolah dijemput oleh Supir pribadi ayahnya.
Melalui teman karibnya, ternyata Evi tahu gelagatku, bahwa aku jatuh hati padanya, karena memang aku hanya berani mengungkapkan ke seorang teman akrabnya itu, seorang perempuan. Gayung bersambut, Evi juga punya perasaan sama katanya. Dasar saya anak udik kali ya….
Setelah lulus SMA, Evi melanjutkan kuliah di salah satu Universitas Negeri favorit di Jakarta. Karena sebelumnya pernah bercerita, bahwa orang tuanya menyuruhnya untuk melanjutkan kuliah di universitas itu. Walau di Jakarta juga, tetapi aku memilih sekolah yang gratisan, sekolah yang kalau sudah lulus, langsung ikatan dinas dan bekerja menjadi abdi negara, alias Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Semasa kuliah, aku ikut pengajian, dan dalam masa-masa itu aku tidak lagi online dengan Evi. Tetapi pernah suatu saat, pada awal-awal aku ikut pengajian itu, aku bercerita, bahwa dalam Islam itu tidak ada ‘pacaran’, walaupun kami sebenarnya tidak juga dibilang pacaran. Sehingga sejak saat itupun kami seperti tenggelam masing-masing, nggak pernah lagi online.
“Min…, sekarang aku single parent…”
“Abinya anak-anak meninggal 6 bulan lalu…”
Pernyataan Evi menyentakku… kaget, apa hubungannya dengan aku…?
Ditengah hiruk pikuk massa bersautan suara takbir dan berorasi, Evi menceritakan sepenggal kisah hidupnya. Bahwa, saat kuliah dia juga akhirnya ikut mengaji, kemudian setelah lulus, bekerja menjadi dosen di kampus tempat Ia belajar, dan menikah juga dengan seorang Ikhwan.
Evi hidup bahagia dengan suami dan kedua anaknya, sementara suaminya, seorang lulusan S2 luar negeri, menjadi General Manager di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Maka, lengkap sudah kebahagiannya. Tetapi takdir Allah berkata lain, ditengah karir suaminya yang semakin menanjak, sepulang dari kantornya yang sudah larut malam sebuah kecelakaan tunggal terjadi, membuat jiwa suaminya tidak tertolong. Bahkan mobil yang dikemudikan supir pribadinya ringsek, tidak lagi berbentuk. Alhamdulillah supirnya selamat, walaupun harus patah kaki kanannya.
Akhirnya… kami harus berpisah, karena acara milad telah usai, dan tak lupa Evi meminta nomor HP dan alamat email aku yang bisa dihubungi. Dan sebaliknya aku sengaja tidak ingin tahu nomor HP Evi, menjaga perasaan istri yang telah setia mendampingi hampir 10 tahun terakhir ini.
Sejak pertemuan di acara milad PKS itu, Evi semakin sering menghubungi aku lewat HP, email, dan selalu ada saja yang diceritakan, termasuk keinginannya untuk menikah lagi.
“Hah… kenapa harus selalu cerita ke aku? Bukannya Evi punya Murobbiyah…?”
“Afwan akhi… aku cerita juga kok ke Murobbiyah…”
“Termasuk tentang Antum…”
“Maksudnya….?” Aku semakin keheranan…, apa ke ge‘er an ya?
“Akhi… antum tahu kan sifat ana? Nah… ana minta dengan satu permintaan…?”
“Apa tuh…?”
Sepertinya ada hal penting nih…pikirku. Dan terdengar pula suara Evi di HP-ku yang tiba-tiba berubah, lebih rendah, atau bahkan lebih halus.
“Mau kan…, Mmmm… Amin… jadi abinya anak-anaku…?”
Glegg…bagai tersambar petir, permintaan Evi membuat aku tergagu. Rasanya lemas seluruh badan ini. Tetapi cepat-cepat aku bergeliat, mengatur nafas yang mulai naik turun tak beraturan. Menata kembali hati ini, dan berharap semoga ada ‘jalan lain’ karena tidak harus selalu menerima permintaan Evi, teringat waktu SMA, Evi yang selalu bersifat keras kalau mempunyai suatu keinginan.
Aku biarkan…permintaan Evi itu mengambang…, maka aku sudahi pula percakapan itu melalui HP jadulku.
Bersambung...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Kegalauan Hati"

Posting Komentar

Hadits Muslim