...........................................................

Renungan Al Quran

Kegalauan Hati Part IV

Segelas teh hangat membuat badanku makin berkeringat . Membuat segar tubuh ini. Sesegar wajah istriku.
Setelah membuka sepatu, aku duduk di kursi teras. Sepertinya istri sudah menyiapkan. Sengaja Ia ingin berlama-lama mengajak ngobrol aku.
Sambil duduk manis disampingku, dengan arah muka yang sejajar, istri tidak ingin menatap wajah aku. Membuat aku jadi kikuk, grogi, atau gugup. Ahh… jadi teringat saat ta’aruf dulu.
Tiba-tiba Ia melanjutkan pembicaraan.
“Alhamdulillah…, beruntung aku jadi istri Abi…”
“Coba, kalau nggak… “
“Pasti orang lain yang jadi istri Abi…”
Itulah kalimat pujian istriku, tentu masih dengan senyum ‘kemenangannya’. Kemenangan tidak mungkin aku menerima lamaran Evi. Kemenangan istri lebih dulu menikah denganku.
Sementara aku, masih tergugu dibuatnya, belum mau keluar sepatah kata pun dari mulut ini. Seperti tersihir oleh euphoria kemenangan istri. Persis seperti seorang mad’u yang tersihir oleh taujih Murobbinya.
“Harusnya Bi… waktu Evi minta dinikahi sama Abi… ”
“Abi bilang gini…. ”
"Maaf ukhti, saya sangat mencintai istri dan 4 anak saya, gak ingin menyakiti mereka".
Degg… kalimat ini membuat hatiku semakin terpojok, tidak enak, ternyata selama ini aku belum bisa memahami ‘sisi lain’ seorang istri, yaitu perasaan.
Aku jadi berfikir sendiri. Hmm… itulah wanita, batinku. Yang selalu berbicara dengan perasaan. Sehingga dengan perasaan itu pula mampu ‘memaknai’ setiap detik perjalanan rumah tangganya. Bahwa dalam rumah tangga itu bukan hanya halal haram, atau boleh nggak, tetapi chemistry.
Teringat artikel-artikel poligami yang pernah aku baca, bisa jadi istri sangat memahami bahwa poligami itu halal, tetapi yang belum bisa adalah, bagaimana rasa cinta pada suaminya harus dibagi dengan wanita lain.
Setelah kalimat terakhir itu…, Aku palingkan wajah ke istriku, tanpa kuduga, aku lihat matanya berkaca-kaca, mulai meneteskan air mata. Sepertinya sudah berusaha untuk menahannya, tetapi… pecah juga tangis itu.
Dipeluknya aku…., erat sekali. Istri menangis sesenggukan dipundakku.
Tak terasa meleleh juga air mata saya, akupun ikut menangis…, merasa bersalah, kenapa tidak sejak awal aku menolak permintaan Evi. Ahh… kenapa aku harus melukai dulu perasaan istriku.
“Maaf kan Abi ya… Luv”
“Nggak apa-apa Say… Abi nggak salah kok”
Lama… kami berpelukan. Sambil saling berdiam, aku masih merasa bersalah, karena tidak tegas cepat-cepat menolak permintaan Evi.
Aku juga merasa bersalah, kenapa pula ngomong tentang poligami di depan istri.
Istri juga merasa bersalah, ternyata ada wanita lain yang memperhatikan suaminya. Bisa jadi selama ini istri kurang memperhatian terhadap aku.
Setelah itu…, kami saling berjanji, untuk tidak menyakiti perasaan ini. Berjanji, untuk selalu ‘curhat’ setiap kali ada persoalan. Dan berjanji juga untuk saling memberikan perhatian.
------------------
Sepertinya Sabtu pagi itu menjadi titik balik. Semua perasaan tak menentu itu berakhir. Terjawab juga kegalauan hati yang lain, adalah bukan pada permintaan aneh Evi. Tetapi lebih pada istriku. Selama ini aku masih salah memahami.
Saya berfikir, adalah biasa poligami itu. Tetapi tidak semudah itu bagi istri, ternyata Istri pun seorang wanita biasa. Seorang istri yang tidak ingin pasangan tercintanya, berbagi cinta dengan wanita lain.
Aku jadi berfikir ulang, ternyata tidak mudah juga ber-poligami. Belum lagi aku bukanlah seorang suami yang hebat, bukan ustadz, bukan juga seorang faqih, tetapi hanya lelaki yang Allah takdirkan ikut mengaji di halaqoh tarbiyah

Bersambung .....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Kegalauan Hati Part IV"

Posting Komentar

Hadits Muslim